Konon sebutan Ragunan diambil dari nama pemilik kawasan itu, Pangeran Wiraguna. Kesultanan Banten pada abad ke-17 memberikan gelar itu kepada orang Belanda bernama Hendrik Lucaasz Cardeel, ahli bangunan yang membantu memperbaiki kesultanan pada masa itu.
Adolf Heuken, padri Katolik kelahiran Jerman, menuturkan sosok Pangeran Wiraguna saat ini masih sebatas cerita. Penulis buku tiga jilid Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta ini menerangkan sejak kedatangannya di Jakarta pada 1963 cerita itu sudah beredar. Namun ketika ditelusuri lebih lanjut, dia merasa belum mendapatkan bukti akan hal itu.
Saat ditemui di rumahnya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, akhir Juni lalu, dia mengatakan dia belum menemukan sejarah nama Ragunan. Tidak hanya bertanya langsung ke orang-orang kampung di sekitar Ragunan, dia juga telah mencari tahu melalui berbagai literatur berbahasa Belanda, Jerman, Cina, dan Jawa yang pernah membahas Batavia hingga menjadi Jakarta.
Heuken menjelaskan dari informasi dianggap valid, Ragunan adalah kawasan masih jarang penghuni hingga 1960-an. Informasi dari sejumlah literatur dia baca menyebutkan Ragunan dulu banyak dihuni oleh banyak binatang, seperti harimau, badak, hingga buaya di rawa-rawa. Dia memprediksi itu sekitar akhir abad ke-16.
Menurut dia, cerita tentang Pangeran Wiraguna konon adalah orang kepercayaan Sultan Banten saat itu, yakni Abu Nasar Abdul Qohar dengan gelar Sultan Haji atau putra dari Sultan Ageng Tirtayasa. Wiraguna disebutkan sempat menjadi utusan Kesultanan Banten untuk berhubungan dengan pemerintah Batavia. Bahkan Wiraguna juga dikisahkan sempat masuk Islam, meski saat meninggalkan Kesultanan Banten untuk kembali ke Batavia dia kembali masuk Kristen.
Cerita itu, menurut Heuken, masih perlu ditelusuri lebih lanjut. Dari hasil pelacakan sejarah nama-nama tempat di Jakarta, dia merasa belum menemukan sumber bisa dipercaya. Baik itu berupa peninggalan tertulis atau dalam bentuk lainnya. Bahkan tidak ada yang tahu lokasi makam Wiraguna. Menurut romo Jesuit ini, untuk hal-hal berbau sejarah tidak bisa disamakan dengan dongeng. Dia ingin sejarah itu memiliki bukti bisa ditelusuri dan dipelajari.
Tidak hanya sampai di situ, ketika merdeka.com bertandang ke rumahnya, Heuken menunjukkan peta lawas Batavia berukuran sekitar 1x0,5 meter ditempel di atas triplek. Dia memperkirakan peta berbahasa Belanda itu dibuat sekitar dua abad lalu. Nama Ragunan tidak ada di sana. Yang ada cuma kampung-kampung kuno, seperti Manggarai, Salemba, dan Penggilingan.
Menurutnya penamaan nama tempat di Jakarta memang masih perlu ditelusuri lebih lanjut. Meski begitu cerita-cerita beredar di masyarakat perlu didengarkan. "Saya sering mendengar jawaban sama dan tidak pernah detail kalau menanyakan sejarah bangunan di Jakarta, meski itu orang sekitar bangunan, kata Heuken.
Sumber:
merdeka.com
0 komentar